Utang Indonesia di World Bank
Bank Dunia telah aktif di Indonesia sejak 1967. Sejak saat itu hingga saat ini, Bank Dunia telah membiayai lebih dari 280 proyek dan program pembangunan senilai 26,2 milyar dollar atau setara dengan Rp243,725 triliun (dengan kurs Rp9.302 per USD). Menurut Managing Director The World Bank Group, Ngozi Okonjo (30/1/2008), pinjaman tersebut telah digunakan pemerintah Indonesia untuk mendukung pengembangan energi, industri, dan pertanian. Sementara yang sektor yang paling mendominasi selama 20 tahun pertama yakni infrastruktur yang pemberiannya kepada masyarakat miskin. Total hutang Indonesia kepada Bank Dunia adalah 243,7 Trilyun rupiah dan total hutang pemerintah Indonesia kepada berbagai pihak mencapai 1600 Trilyun rupiah.
Anggoro (2008) menulis, ada beberapa tugas Bank Dunia di Indonesia. Pertama, memimpin Forum CGI. Aggota CGI (Consultative Group meeting on Indonesia) adalah 33 negara dan lembaga-lembaga donor yang dikoordinasikan oleh Bank Dunia. CGI "membantu" pembangunan di Indonesia dengan cara memberikan pinjaman uang serta bantuan teknik untuk menciptakan aturan-aturan pasar dan aktivitas ekonomi liberal. Dalam hal ini, Bank Dunia bertugas menciptakan pasar yang kuat bagi kepentingan negara-negara dan lembaga donor.
Tugas kedua Bank Dunia adalah
menyediakan hutang dalam jumlah besar, bekerjasama dengan Jepang dan ADB (Asian
Development Bank). Tugas Bank Dunia yang lain adalah mendorong pemerintah
Indonesia untuk melakukan privatisasi dan kebijakan yang memihak pada perusahaan-perusahaan
besar.
Dana hutang yang diberikan kepada Indonesia, antara lain dalam bentuk hutang proyek dan hutang dana segar.
a. Hutang Proyek
Hutang proyek adalah hutang dalam
bentuk fasilitas berbelanja barang dan jasa secara kredit. Namun, sayangnya,
hutang ini justru menjadi alat bagi Bank Dunia untuk memasarkan barang dan jasa
dari negara-negara pemegang saham utama, seperti Amerika, Inggris, Jepang dan
lainnya kepada Indonesia.
b. Hutang Dana Segar
Hutang dana segar bisa dicairkan
bila Indonesia menerima Program Penyesuaian Struktural (SAP). SAP mensyaratkan
pemerintah untuk melakukan perubahan kebijakan yang bentuknya, antara lain:
- swastanisasi (Privatisasi) BUMN dan lembaga-lembaga pendidikan
- deregulasi dan pembukaan peluang bagi investor asing untuk memasuki semua sektor
- pengurangan subsidi
kebutuhan-kebutuhan pokok, seperti: beras, listrik, pupuk dan rokok
menaikkan tarif telepon dan pos - menaikkan harga bahan bakar (BBM)
Besarnya jumlah hutang (yang
terus bertambah) membuat pemerintah juga harus terus mengalokasikan dana APBN
untuk membayar hutng dan bunganya. Sebagai illustrasi, dapat kita lihat data
APBN 2004 dimana pemerintah mengalokasikan Rp 114.8 trilyun (28% dari total
anggaran) untuk belanja daerah, Rp 113.3 trilyun untuk pembayaran utang dalam
dan luar negeri (27% dari total anggaran), dan subsidi hanya Rp 23.3 trilyun
(5% dari total anggaran). Dari ketiga komponen anggaran belanja tersebut,
anggaran belanja daerah dan subsidi masing-masing mengalami penurunan sebesar
Rp 2 trilyun dan Rp 2.1 trilyun. Sedangkan alokasi untuk pembayaran utang
mengalami kenaikan sebesar Rp 14.1 trilyun.
Komposisi dalam anggaran belanja
negara tersebut mencerminkan besarnya beban utang tidak saja menguras
sumber-sumber pendapatan negara, tetapi juga mengorbankan kepentingan rakyat
berupa pemotongan subsidi dan belanja daerah. Karena itu, meski Bank Dunia
memiliki semboyan "working for a world free of poverty", namun meski
telah lebih dari 60 tahun beroperasi di Indonesia, angka kemiskinan masih tetap
tinggi. Data dari Badan Pusat Statistik tahun 2009, ada 31,5 juta penduduk
miskin di Indonesia.
Anggoro (2008), peneliti dari
Institute of Global Justice, menulis, kerugian yang diderita Indonesia karena
menerima pinjaman dari Bank Dunia adalah sebagai berikut.
1. Kerugian dalam bidang ekonomi
- Indonesia kehilangan hasil dari
pengilangan minyak dan penambangan mineral (karena diberikan untuk membayar
hutang dan karena proses pengilangan dan penambangan itu dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan transnational partner Bank Dunia)
- Jebakan hutang yang semakin
membesar, karena mayoritas hutang diberikan dengan konsesi pembebasan pajak
bagi perusahaan-perusahaan AS dan negara donor lainnya.
- Hutang yang diberikan akhirnya
kembali dinikmati negara donor karena Indonesia harus membayar "biaya
konsultasi" kepada para pakar asing, yang sebenarnya bisa dilakukan oleh
para ahli Indonesia sendiri.
- Hutang juga dipakai untuk membiayai penelitian-penelitian yang tidak bermanfaat bagi Indonesia melalui kerjasama-kerjasama dengan lembaga penelitian dan universitas-universitas.
- Bahkan, sebagian hutang dipakai untuk membangun infrastuktur demi kepentingan perusahaan-perusahaan asing, seperti membangun fasilitas pengeboran di ladang minyak Caltex atau Exxon Mobil. Pembangunan infrastruktur itu dilakukan bukan di bawah kontrol pemerintah Indonesia, tetapi langsung dilakukan oleh Caltex dan Exxon.
- Hutang juga dipakai untuk membiayai penelitian-penelitian yang tidak bermanfaat bagi Indonesia melalui kerjasama-kerjasama dengan lembaga penelitian dan universitas-universitas.
- Bahkan, sebagian hutang dipakai untuk membangun infrastuktur demi kepentingan perusahaan-perusahaan asing, seperti membangun fasilitas pengeboran di ladang minyak Caltex atau Exxon Mobil. Pembangunan infrastruktur itu dilakukan bukan di bawah kontrol pemerintah Indonesia, tetapi langsung dilakukan oleh Caltex dan Exxon.
2. Kerugian dalam bidang politik
- Keterikatan pada hutang membuat
pemerintah menjadi sangat bergantung kepada Bank Dunia dan mempengaruhi
keputusan-keputusan politik yang dibuat pemerintah. Pemerintah harus
berkali-kali membuat reformasi hukum yang sesuai dengan kepentingan Bank Dunia.
Hal ini juga diungkapkan ekonom
Rizal Ramli (2009), "Lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti Bank
Dunia, IMF, ADB, dan sebagainya dalam memberikan pinjaman, biasanya memesan dan
menuntut UU ataupun peraturan pemerintah negara yang menerima pinjaman, tidak
hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga di bidang sosial. Misalnya, pinjaman
sebesar 300 juta dolar AS dari ADB yang ditukar dengan UU Privatisasi BUMN,
sejalan dengan kebijakan Neoliberal. UU Migas ditukar dengan pinjaman 400 juta
dolar AS dari Bank Dunia."
Cara kerja Bank Dunia (dan
lembaga-lembaga donor lainnya) dalam menyeret Indonesia (dan negara-negara
berkembang lain) ke dalam jebakan hutang, diceritakan secara detil oleh John
Perkins dalam bukunya, "Economic Hit Men". Perkins adalah mantan
konsultan keuangan yang bekerja pada perusahaan bernama Chas T. Main, yaitu
perusahaan konsultan teknik. Perusahaan ini memberikan konsultasi pembangunan
proyek-proyek insfrastruktur di negara-negara berkembang yang dananya berasal
dari hutang kepada Bank Dunia, IMF, dll.
Mengenai pekerjaannya itu,
Perkins (2004: 13-16) menulis, "...saya mempunyai dua tujuan penting.
Pertama, saya harus membenarkan (justify) kredit dari dunia internasional yang
sangat besar jumlahnya, yang akan disalurkan melalui Main dan
perusahaan-perusahaan Amerika lainnya (seperti Bechtel, Halliburton, Stone
& Webster) melalui proyek-proyek engineering dan konstruksi raksasa. Kedua,
saya harus bekerja untuk membangkrutkan negara-negara yang menerima pinjaman
raksasa tersebut (tentunya setelah mereka membayar Main dan kontraktor Amerika
lainnya), sehingga mereka untuk selamanya akan dicengkeram oleh para
kreditornya, dan dengan demikian negara-negara penerima utang itu akan menjadi
target yang mudah ketika kita memerlukan yang kita kehendaki seperti
pangkalan-pangkalan militer, suaranya di PBB, atau akses pada minyak dan sumber
daya alam lainnya."
Dalam wawancaranya dengan
Democracy Now! Perkins mengatakan, "Pekerjaan utama saya adalah membuat
kesepakatan (deal-making) dalam pemberian hutang kepada negara-negara lain,
hutang yang sangat besar, jauh lebih besar daripada kemampuan mereka untuk
membayarnya. Salah satu syarat dari hutang itu adalah-contohnya, hutang 1
milyar dolar untuk negara seperti Indonesia atau Ecuador-negara ini harus
memberikan 90% dari hutang itu kepada perusahaan AS untuk membangun
infrastruktur, misalnya perusahaan Halliburton atau Bechtel. Ini adalah
perusahaan-perusahaan besar. Perusahaan ini kemudian akan membangun jaringan
listrik, pelabuhan, atau jalan tol, dan ini hanya akan melayani segelintir
keluarga kaya di negara-negara itu. Orang-orang miskin di sana akan terjemak
dalam hutang yang luar biasa yang tidak mungkin bisa mereka bayar."
Untuk kasus Ekuador, Perkins
menulis, negara itu kini harus memberikan lebih dari 50% pendapatannya untuk
membayar hutang. Hal itu tentu tak mungkin dilakukan Ekuador. Sebagai kompensasinya,
AS meminta Ekuador agar memberikan ladang-ladang minyaknya kepada
perusahaan-perusahaan minyak AS yang kini beroperasi di kawasan Amazon yang
kaya minyak.
Tak heran bila kemudian ekonom Joseph Stiglitz pada tahun 2002 mengkritik keras
Bank Dunia dan menyebutnya "institusi yang tidak bekerja untuk orang
miskin, lingkungan, atau bahkan stabilitas ekonomi". Dengan demikian,
menurut Stiglitz, Bank Dunia pada prakteknya menyalahi tujuan didirikannya bank
tersebut, sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini, yaitu untuk
membantumengentaskan kemiskinan dan menjaga kestabilan ekonomi.
Melihat kinerja seperti ini,
menurut Anggoro (2008), Bank Dunia sesungguhnya telah melanggar Piagam PBB yang
menyebutkan, "to employ international machinery for the promotion of the
economic and social advancement of all peoples". Dengan kata lain, Bank
Dunia sebagai salah satu organ PBB mendapatkan mandat untuk membantu
meningkatkan kesejahteraan bangsa-bangsa. Bank Dunia malah memfokuskan
operasinya pada penguatan pasar dan keuangan melalui ekspansi ekonomi
perusahaan multinasional, dan membiarkan Indonesia selalu berada dalam jeratan
hutang tak berkesudahan.
Referensi:
0 comments:
Post a Comment