RSS

Wednesday, September 19, 2012

Task 2 - Utang Indonesia di World Bank

Utang Indonesia di World Bank




Bank Dunia telah aktif di Indonesia sejak 1967. Sejak saat itu hingga saat ini, Bank Dunia telah membiayai lebih dari 280 proyek dan program pembangunan senilai 26,2 milyar dollar atau setara dengan Rp243,725 triliun (dengan kurs Rp9.302 per USD). Menurut Managing Director The World Bank Group, Ngozi Okonjo (30/1/2008), pinjaman tersebut telah digunakan pemerintah Indonesia untuk mendukung pengembangan energi, industri, dan pertanian. Sementara yang sektor yang paling mendominasi selama 20 tahun pertama yakni infrastruktur yang pemberiannya kepada masyarakat miskin. Total hutang Indonesia kepada Bank Dunia adalah 243,7 Trilyun rupiah dan total hutang pemerintah Indonesia kepada berbagai pihak mencapai 1600 Trilyun rupiah.

Anggoro (2008) menulis, ada beberapa tugas Bank Dunia di Indonesia. Pertama, memimpin Forum CGI. Aggota CGI (Consultative Group meeting on Indonesia) adalah 33 negara dan lembaga-lembaga donor yang dikoordinasikan oleh Bank Dunia. CGI "membantu" pembangunan di Indonesia dengan cara memberikan pinjaman uang serta bantuan teknik untuk menciptakan aturan-aturan pasar dan aktivitas ekonomi liberal. Dalam hal ini, Bank Dunia bertugas menciptakan pasar yang kuat bagi kepentingan negara-negara dan lembaga donor.

Tugas kedua Bank Dunia adalah menyediakan hutang dalam jumlah besar, bekerjasama dengan Jepang dan ADB (Asian Development Bank). Tugas Bank Dunia yang lain adalah mendorong pemerintah Indonesia untuk melakukan privatisasi dan kebijakan yang memihak pada perusahaan-perusahaan besar.

Dana hutang yang diberikan kepada Indonesia, antara lain dalam bentuk hutang proyek dan hutang dana segar.
a. Hutang Proyek
Hutang proyek adalah hutang dalam bentuk fasilitas berbelanja barang dan jasa secara kredit. Namun, sayangnya, hutang ini justru menjadi alat bagi Bank Dunia untuk memasarkan barang dan jasa dari negara-negara pemegang saham utama, seperti Amerika, Inggris, Jepang dan lainnya kepada Indonesia.
b. Hutang Dana Segar
Hutang dana segar bisa dicairkan bila Indonesia menerima Program Penyesuaian Struktural (SAP). SAP mensyaratkan pemerintah untuk melakukan perubahan kebijakan yang bentuknya, antara lain:
  1. swastanisasi (Privatisasi) BUMN dan lembaga-lembaga pendidikan
  2. deregulasi dan pembukaan peluang bagi investor asing untuk memasuki semua sektor
  3. pengurangan subsidi kebutuhan-kebutuhan pokok, seperti: beras, listrik, pupuk dan rokok
    menaikkan tarif telepon dan pos
  4. menaikkan harga bahan bakar (BBM)

Besarnya jumlah hutang (yang terus bertambah) membuat pemerintah juga harus terus mengalokasikan dana APBN untuk membayar hutng dan bunganya. Sebagai illustrasi, dapat kita lihat data APBN 2004 dimana pemerintah mengalokasikan Rp 114.8 trilyun (28% dari total anggaran) untuk belanja daerah, Rp 113.3 trilyun untuk pembayaran utang dalam dan luar negeri (27% dari total anggaran), dan subsidi hanya Rp 23.3 trilyun (5% dari total anggaran). Dari ketiga komponen anggaran belanja tersebut, anggaran belanja daerah dan subsidi masing-masing mengalami penurunan sebesar Rp 2 trilyun dan Rp 2.1 trilyun. Sedangkan alokasi untuk pembayaran utang mengalami kenaikan sebesar Rp 14.1 trilyun.

Komposisi dalam anggaran belanja negara tersebut mencerminkan besarnya beban utang tidak saja menguras sumber-sumber pendapatan negara, tetapi juga mengorbankan kepentingan rakyat berupa pemotongan subsidi dan belanja daerah. Karena itu, meski Bank Dunia memiliki semboyan "working for a world free of poverty", namun meski telah lebih dari 60 tahun beroperasi di Indonesia, angka kemiskinan masih tetap tinggi. Data dari Badan Pusat Statistik tahun 2009, ada 31,5 juta penduduk miskin di Indonesia.

Anggoro (2008), peneliti dari Institute of Global Justice, menulis, kerugian yang diderita Indonesia karena menerima pinjaman dari Bank Dunia adalah sebagai berikut.

1. Kerugian dalam bidang ekonomi
- Indonesia kehilangan hasil dari pengilangan minyak dan penambangan mineral (karena diberikan untuk membayar hutang dan karena proses pengilangan dan penambangan itu dilakukan oleh perusahaan-perusahaan transnational partner Bank Dunia)
- Jebakan hutang yang semakin membesar, karena mayoritas hutang diberikan dengan konsesi pembebasan pajak bagi perusahaan-perusahaan AS dan negara donor lainnya.
- Hutang yang diberikan akhirnya kembali dinikmati negara donor karena Indonesia harus membayar "biaya konsultasi" kepada para pakar asing, yang sebenarnya bisa dilakukan oleh para ahli Indonesia sendiri.
- Hutang juga dipakai untuk membiayai penelitian-penelitian yang tidak bermanfaat bagi Indonesia melalui kerjasama-kerjasama dengan lembaga penelitian dan universitas-universitas.
- Bahkan, sebagian hutang dipakai untuk membangun infrastuktur demi kepentingan perusahaan-perusahaan asing, seperti membangun fasilitas pengeboran di ladang minyak Caltex atau Exxon Mobil. Pembangunan infrastruktur itu dilakukan bukan di bawah kontrol pemerintah Indonesia, tetapi langsung dilakukan oleh Caltex dan Exxon.

2. Kerugian dalam bidang politik
- Keterikatan pada hutang membuat pemerintah menjadi sangat bergantung kepada Bank Dunia dan mempengaruhi keputusan-keputusan politik yang dibuat pemerintah. Pemerintah harus berkali-kali membuat reformasi hukum yang sesuai dengan kepentingan Bank Dunia.
Hal ini juga diungkapkan ekonom Rizal Ramli (2009), "Lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia, IMF, ADB, dan sebagainya dalam memberikan pinjaman, biasanya memesan dan menuntut UU ataupun peraturan pemerintah negara yang menerima pinjaman, tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga di bidang sosial. Misalnya, pinjaman sebesar 300 juta dolar AS dari ADB yang ditukar dengan UU Privatisasi BUMN, sejalan dengan kebijakan Neoliberal. UU Migas ditukar dengan pinjaman 400 juta dolar AS dari Bank Dunia."

Cara kerja Bank Dunia (dan lembaga-lembaga donor lainnya) dalam menyeret Indonesia (dan negara-negara berkembang lain) ke dalam jebakan hutang, diceritakan secara detil oleh John Perkins dalam bukunya, "Economic Hit Men". Perkins adalah mantan konsultan keuangan yang bekerja pada perusahaan bernama Chas T. Main, yaitu perusahaan konsultan teknik. Perusahaan ini memberikan konsultasi pembangunan proyek-proyek insfrastruktur di negara-negara berkembang yang dananya berasal dari hutang kepada Bank Dunia, IMF, dll.

Mengenai pekerjaannya itu, Perkins (2004: 13-16) menulis, "...saya mempunyai dua tujuan penting. Pertama, saya harus membenarkan (justify) kredit dari dunia internasional yang sangat besar jumlahnya, yang akan disalurkan melalui Main dan perusahaan-perusahaan Amerika lainnya (seperti Bechtel, Halliburton, Stone & Webster) melalui proyek-proyek engineering dan konstruksi raksasa. Kedua, saya harus bekerja untuk membangkrutkan negara-negara yang menerima pinjaman raksasa tersebut (tentunya setelah mereka membayar Main dan kontraktor Amerika lainnya), sehingga mereka untuk selamanya akan dicengkeram oleh para kreditornya, dan dengan demikian negara-negara penerima utang itu akan menjadi target yang mudah ketika kita memerlukan yang kita kehendaki seperti pangkalan-pangkalan militer, suaranya di PBB, atau akses pada minyak dan sumber daya alam lainnya."

Dalam wawancaranya dengan Democracy Now! Perkins mengatakan, "Pekerjaan utama saya adalah membuat kesepakatan (deal-making) dalam pemberian hutang kepada negara-negara lain, hutang yang sangat besar, jauh lebih besar daripada kemampuan mereka untuk membayarnya. Salah satu syarat dari hutang itu adalah-contohnya, hutang 1 milyar dolar untuk negara seperti Indonesia atau Ecuador-negara ini harus memberikan 90% dari hutang itu kepada perusahaan AS untuk membangun infrastruktur, misalnya perusahaan Halliburton atau Bechtel. Ini adalah perusahaan-perusahaan besar. Perusahaan ini kemudian akan membangun jaringan listrik, pelabuhan, atau jalan tol, dan ini hanya akan melayani segelintir keluarga kaya di negara-negara itu. Orang-orang miskin di sana akan terjemak dalam hutang yang luar biasa yang tidak mungkin bisa mereka bayar."

Untuk kasus Ekuador, Perkins menulis, negara itu kini harus memberikan lebih dari 50% pendapatannya untuk membayar hutang. Hal itu tentu tak mungkin dilakukan Ekuador. Sebagai kompensasinya, AS meminta Ekuador agar memberikan ladang-ladang minyaknya kepada perusahaan-perusahaan minyak AS yang kini beroperasi di kawasan Amazon yang kaya minyak.
 
Tak heran bila kemudian ekonom Joseph Stiglitz pada tahun 2002 mengkritik keras Bank Dunia dan menyebutnya "institusi yang tidak bekerja untuk orang miskin, lingkungan, atau bahkan stabilitas ekonomi". Dengan demikian, menurut Stiglitz, Bank Dunia pada prakteknya menyalahi tujuan didirikannya bank tersebut, sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini, yaitu untuk membantumengentaskan kemiskinan dan menjaga kestabilan ekonomi.

Melihat kinerja seperti ini, menurut Anggoro (2008), Bank Dunia sesungguhnya telah melanggar Piagam PBB yang menyebutkan, "to employ international machinery for the promotion of the economic and social advancement of all peoples". Dengan kata lain, Bank Dunia sebagai salah satu organ PBB mendapatkan mandat untuk membantu meningkatkan kesejahteraan bangsa-bangsa. Bank Dunia malah memfokuskan operasinya pada penguatan pasar dan keuangan melalui ekspansi ekonomi perusahaan multinasional, dan membiarkan Indonesia selalu berada dalam jeratan hutang tak berkesudahan.

Referensi:

Task 2 - Lembaga keuangan sebagai Lembaga Intermediasi Keuangan

Lembaga Keuangan sebagai Lembaga Intermediasi Keuangan

Lembaga keuangan adalah badan usaha yang kekayaannya terutama berbentuk aset keuangan (financial assets) atau tagihan (claims) dibandingkan dengan aset non keuangan (non financial assets). Lembaga keuangan terutama memberikan kredit dan menanamkan dananya dalam surat-surat berharga. Sering lembaga keuangan disebut sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary) karena fungsi pokoknya dalam melakukan intermediasi antara unit defisit dan unit surplus dalam suatu sistem keuangan.  Lembaga keuangan merupakan bagian dari sistem keuangan dalam suatu sistem perekonomian modern yang melayani masyarakat pemakai jasa-jasa keuangan, baik unit surplus maupun kepentingan dari unit defisit. Lembaga keuangan menawarkan secara luas berbagai jenis jasa keuangan, antara lain: simpanan, proteksi asuransi, program pensiun, dan mekanisme transfer dana.

Bentuk Lembaga Intermediasi Keuangan
  1. Depository Intermediaries Lembaga intermediasi keuangan ini dapat pula disebut sebagai lembaga penghimpunan yaitu bank umum, BPR, Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan (LDKP).
  2. Contractual Intermediaries Lembaga ini melakukan kontrak dengan nasabahnya dalam usahanya menarik tabungan atau memberikan perlindungan financial terhadap timbulnya kerugian baik jiwa maupun harta, yang dikenal dengan perusahaan asuransi dan dana pensiun.
  3. Investment Interediaries Lembaga intermediasi ini menawarkan surat‐surat berharga yang dapat dimiliki sebagai investasi jangka panjang, antara lain trust fund, mutual stock funds, money market funds, trust dan investment companies.
Peran Lembaga Keuangan Sebagai Lembaga Intermediasi
  1. Asset transmutations Lembaga keuangan mempunyai aset berupa janji‐janji untuk membayar atau dapat diartikan sebagai pinjaman kepada pihak lain dengan jangka waktu sesuai dengan kebutuhan peminjam. Dana lembaga keuangan dalam membiayai aset tersebut dananya dapat diperoleh dari penabung yang jangka waktunya menutur kebutuhan penabung.
  2. Liquidity Likuiditas berkaitan dengan kemampuan untuk memperoleh uang tunai pada saat dibutuhkan atau diartikan pula kemampuan bank memenuhi kewajibanny dengan segera.
  3. Income Allocation Merelokasikan penghasilan waktu sekarang untuk persiapan masa yang akan datang.
  4. Transactions Peran lembaga keuangan sebagai lembaga intermediasi adalah memberikan jasa agar terjadi transaksi moneter.